Aku kaget karena rupanya orang yang
kutabrak tadi mengenaliku. Akhirnya ku arahkan mataku kepadanya. Mataku
terbelalak, jantungku rasanya mau copot, badanku kaku tidak bisa digerakkan, suaraku
hilang entah kemana melihat sesosok orang yang berdiri dihadapanku. Aku hanya
bisa menjerit di dalam hati, Astaga mantan . . . ! ! !
“Iya benar kau Yuna. Bagaimana kabarmu Yun
? Apa kamu gak apa-apa ?”, Tanya orang tersebut kepadaku.
Aku masih terdiam terpaku dengan jantung
berdegup kencang. Begitu kencangnya degup jantungku sampai-sampai aku bisa
mendengarnya di telingaku.
“Yun, kamu gak papa ?”, Tanyanya sekali
lagi sambil mengayunkan tangannya di depan wajahku yang sedang terpaku seolah
ingin menyadarkanku.
“Oh, iya . . eh iya . . aku gak papa ian”,
Jawabku sekenanya.
Entah mimpi apa aku semalam sampai aku
harus bertemu dengan mantanku seperti ini. Benar-benar hari ini sepertinya aku
kurang hoki.
Yap, namanya Rian, mahasiswa semester akhir
(*satu angkatan denganku), satu kampus denganku tetapi kita berbeda jurusan.
Dia tak lain adalah mantanku yang paling brengsek (*menurutku). Dialah yang
mentigakan aku saat aku masih jadi pasangannya. Dan taukah apa yang dikatakan
saat dia ketahuan mempunyai pacar lebih dari satu ? Beginilah ocehannya “Bener
pacarku banyak, tapi yang ku seriusin Cuma satu Yun, dan itu kamu”. Dasar buaya
! Mana mungkin aku mempercayai ocehan seperti itu. Sekali pengkhianat tetap
pengkhianat, itu pemikiranku. Mulai saat itulah aku sangat membencinya dan aku
tak ingin lagi menemuinya.
Tapi sepertinya takdir berkata lain, aku
sekali lagi harus bertemu dengan si brengsek ini. Dan itu menambah rasa benciku
kepadanya. “Emm, permisi ian aku mau lewat”, kataku sambil tergopoh-gopoh.
“Kau selamat waktu itu tidak merasakan
tamparanku, tendanganku bahkan pukulanku. Kau beruntung waktu itu aku hanya
memakimu dan merusakkan kedua hapemu !”, Gumamku sambil berlalu dari hadapan
Rian. Iya, waktu dulu aku memutuskan Rian, aku hanya memakinya serta membanting
kedua hapenya ke lantai hingga berkeping-keping karena aku murka, marah dan
kesal. Itu pantas dia terima.
“Yun, tunggu sebentar ! ada yang ingin ku
bicarakan kepadamu”, teriaknya. Aku berhenti dan menengok ke arahnya dengan
ekspresi muka penuh dengan tanda Tanya besar. “Kita cari tempat untuk duduk dan
berbicara. Aku berjanji hanya sebentar saja”, Tambahnya.
Apa ? Apa yang barusan dia katakana ? Apa
dia tidak waras ? Apa dia tidak punya rasa malu atas perbuatannya kepadaku dulu
? Aku makin kesal kepadanya atas ucapannya barusan. Tanpa mempedulikan apa yang
dibicarakannya aku melanjutkan jalanku. Tapi hal yang terduga terjadi, dia
berlari ke arahku dan menarik tanganku. “Yun, tunggu !” Ucapnya.
“Apa yang sebenarnya kamu inginkan Rian ?
Kalau kamu ingin bicara, bicaralah sekarang !” Ucapku ketus sambil menarik
tanganku yang dipegangnya.
“Beri aku sedikit waktu, ada yang ingin
kubicarakan kepadamu. Kumohon . . .”, Ucapnya lirih.
0 komentar:
Posting Komentar